Oleh MARIA HARTININGSIH
PLTMH Kalimaron, Seloliman, Mojokerto, Jawa Timur, hasil upaya warga melistriki desa sendiri
Sungai-sungai kecil di pedesaan adalah sumber hidup. Selain untuk irigasi persawahan, kalau sungai itu meliuk turun pada kontur tanah yang curam, ia berpotensi menjadi sumber energi. Maria Hartiningsih
Airnya ditampung di bendungan kecil, lalu disalurkan melalui pipa besar ke bawah, sehingga menghasilkan kekuatan seperti air terjun yang kemudian menggerakkan turbin listrik.
Begitulah cara kerja pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Pembangkit listrik berskala kecil, antara 5 kWh sampai 100 kWh, itu merupakan praktik membumi untuk melistriki sekitar 13.900 atau 20,5 persen desa yang belum terlistriki di Indonesia (data tahun 2006). Selain itu, menahan bertimbunnya emisi karbon dioksida di atmosfer yang memperburuk efek rumah kaca, penyebab naiknya suhu muka bumi secara global.
Namun, hal terpenting dari upaya itu adalah memerdekakan warga dengan mengembalikan keberdayaannya secara ekonomi, maupun pengelolaan serta pemeliharaan sumber daya hutan dan air berkelanjutan. Itu terjadi dengan PLTMH di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
”Setelah listrik masuk, waktu menumbuk kertas jadi pendek,” ujar Jayanti (32) dari Dusun Sempur, satu dari empat dusun di Seloliman. Sejak tahun 1999, ibu satu anak ini mendirikan usaha Sempur Peduli Daur Ulang (Sempedu), berupa daur ulang kertas menjadi berbagai produk.
Begitu listrik masuk ke desa itu pada tahun 2001, proses daur ulang hanya butuh waktu satu hari, atau tiga hari lebih cepat daripada sebelumnya. Dengan membayar biaya listrik Rp 45.000-Rp 50.000 per bulan, emisi karbon dioksida dari proses produksi bisa diminimalisasi.
”Untuk merebus kertas menjadi bubur kertas hanya butuh 20 menit, tanpa kayu bakar,” jelas Jayanti. ”Merendam kertas hanya satu hari.”
Efisiensi waktu pemrosesan membuat meningkatnya jumlah produksi. ”Kalau dulu pesanan kertas 200 lembar satu minggu pun belum tentu jadi, sekarang hanya 1,5 sampai 2 hari,” sambung Jayanti.
Produksi kertas daur ulang itu mencapai sekitar 60 lembar kertas berukuran A4 untuk dijadikan bermacam-macam produk. Kalau panas matahari konstan selama sebulan, produksi melonjak sampai dua kali lipat. Harga satu lembarnya sekitar Rp 300.
Perempuan yang panen jagung membantu kerja daur ulang itu sebagai sambilan. Sebagian juga punya usaha yang sama. ”Kalau ada order, biasanya dibagi rata. Hasilnya untuk modal lagi dan ditabung,” kata Jayanti.
Usaha itu awalnya memang membidik anak-anak perempuan yang tak punya aktivitas, kecuali menonton televisi seharian. Kertas bekas sebagian didapat dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman dengan harga separuh lebih rendah. PPLH kemudian memesan kertas daur ulang untuk pembuatan sertifikat, buku, dan lain-lain kepada warga dengan harga pasar.
Proses panjang
Selama puluhan tahun sebelum tahun 1993, Dusun Janjing, Dusun Biting, Dusun Balekambang, dan Dusun Sempur tak kenal listrik. Pergerakan ekonomi merangkak amat pelan. Tak ada kemajuan berarti terkait pembangunan manusia.
”Rata-rata setiap keluarga punya anak lima sampai enam,” ujar Asiyah dari Dusun Balekambang. ”Setelah ada listrik, rata-rata jumlah anak hanya dua, hanya beberapa punya tiga anak.”
Dulu, di Dusun Janjing, anak- anak paling hanya lulus sekolah dasar. ”Seperti saya,” ujar Ma’sum (42), ayah dua anak yang sulungnya duduk di kelas III SMA.
Letak desa cukup terpencil— meski hanya 2 kilometer dari jalan umum—karena harus menuruni lembah dan menyeberangi sungai kecil yang arusnya deras, khususnya pada musim hujan. Pernah seorang anak tersapu air ketika menyeberang. Karena listrik tak ada, arus informasi dari luar juga tersendat.
Pada tahun 1993 PLN akhirnya juga masuk ke wilayah Desa Seloliman, tetapi hanya mencakup Dusun Balekambang, Biting, dan sebagian Sempur. ”Dusun Janjing sama sekali tak terlistriki sehingga warga merasa ditinggalkan,” kenang Suroso, Ketua Pembina Yayasan Lingkungan Hidup Seloliman.
Atas inisiatif warga dan difasilitasi PPLH dengan mengorganisasikan warga, lahirlah PLTMH Kalimaron Seloliman, diresmikan bulan Agustus 1994. PLTMH berdaya 12 kWh itu digunakan melistriki seluruh Desa Janjing dan bagian dari dusun lain yang belum mendapat listrik dari PLN. Sebagian lagi untuk keperluan listrik PPLH yang beroperasi dengan petromaks sejak tahun 1988. Biayanya sebagian berasal dari warga, sedangkan sebagian lagi dibantu Kedutaan Besar Jerman.
”Bagi kami, PLTMH bukan tujuan, tetapi pintu masuk menyelamatkan sumber air dan hutan,” sambung Suroso yang menjadi Direktur PPLH tahun 2000-2007.
Untuk 1 kWh, setidaknya membutuhkan satu pohon di hutan untuk menyimpan air.
”Kesadaran warga dibangun dengan melihat dan merasakan manfaatnya. Kalau hutan tidak dijaga, sumber air berkurang dan pembangkit listrik tidak bisa jalan,” ujarnya.
Seperti selalu diingatkan Tri Mumpuni dari Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan yang bersama timnya sudah melistriki sekitar 6.000 desa, agar PLTMH mampu berfungsi sepanjang tahun, setidaknya daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Itu berarti tidak boleh ada penebangan hutan atau penggundulan vegetasi.
Sumber : kompas